archives

Aliran

This category contains 3 posts

3 Pilar Pemikir ASY’ARIYAH

Ada tiga pemikir Islam, yang sementara ini diklaim sebagai penganut aliran teologi Asy’ariyah, mereka ialah: Al-Baqillani, Al-Juwaini dan Al-Ghazali, meskipun mereka sendiri tidak pernah menyatakan diri berafilisi kepada aliran telogi tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.

Para pemerhati pemikiran teologi Islam memberikan predikat kepada mereka sebagai penganut aliran teologi Asy’ariyah diakibatkan oleh dasar-dasar epistemologi (pemikiran) mereka dan substansi pemikiran mereka yang condong ke arah pemikiran  Asy’ariyah.

1. AL BAQILLANI (403/1013)

Al-Baqillani, yang nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad b. al-Tayyib b. Muhammad b. Ja’far b. al-Qasim, dalam kebanyakan sumber dikenal dengan Ibn Baqillani tapi penggunaan yang populer al-Baqillani (Lewis, 1968:  958), dilahirkan di kota Basrah, tanggalnya tidak diketahui, wafat di Baghdad pada tanggal 21 Zul Qa’dah 403/6 Juni 1013. Ia dikenal sebagai pendukung Asy’ari dalam teologi dan al-Maliki dalam fiqh. Ia juga dikenal sebagai aktor utama dalam sistematisasi dan populerisasi aliran Asy’ariyah. (Lewis, 1968: 958)

Ia dikenal dengan sebutan al-Qadi sehingga kalau disebut al-Qadi saja maka yang dimaksud adalah al-Baqillani. Meskipun demikian ia tidak lama memegang jabatan sebagai Qadi dan itupun jauh di luar ibu kota (Baghdad) tapi tidak diketahui dengan pasti di daerah mana ia menjabat sebagai Qadi tersebut. (Badawi,  1971:  572)

Karyanya sejumlah 52 (liam puluh dua) kitab menurut penuturan Qadi Iyad berdasarkan tulisan gurunya Qadi Abu ‘Ali al-Sadafi, tapi dari sekian banyak kitab tersebut yang masih ada sampai sekarang hanya enam, yaitu:

  1. I’jaz al-Quran; membicarakan tentang kemukjizatan al-Qur’an.
  2. Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidah al-Mu’aththilah wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilah; kitab ini  merupakan yang pertama kali menampilkan polemik teologi yang lengkap.
  3. Hidayah al-Mustarsyidin wa Mughni fi ushul al-Din; membicarakan tentang nubuwwat.
  4. Manaqib al-A’immah wa Naqd al-Mata’in ala Salaf al-Ummah; membicarakan tentang imamah (kepemimpinan nasional)
  5. Al-Bayan al-Farq Baina Mu’jizat al-Nabiyyin wa Karamat al-Shalihin; berisi tentang keajaiban apologis yang menunjukkan klaim kenabiyan.
  6. Al-Inshaf fi Asbab al-Khilaf; memuat dua bagian utama; kepercayaan‑kepercayaan versi sunni dengan penjelasan‑penjelasan singkat dan diskusi‑diskusi mendetail tentang keqadiman al-Quran, Qadar, melihat Tuhan dan Syafa’ah. (Badawi, 1971:  588)

Dari enam karya tersebut yang relevan untuk dibahas dalam konteks pemikiran al-Baqillani adalah al-Tamhid sebagaimana diuraikan dalam paragraf berikut:

Pemikiran‑pemikirannya

Dalam al-Tamhidnya, al-Baqillani, yang tidak henti‑hentinya disibukkan dengan ungkapan‑ungkapan apologisnya, mencampur adukkan penyajian tentang kepercayaan dengan diskusi‑diskusi panjang melawan sekte‑sekte non muslim dan aliran‑aliran Muslim sendiri.

Berikut ini skema pendapat al-Baqillahi dalam kitab tersebut (berdasarkan pembahasan ilmu kalam):

(1) al-’ilm (2) Aqsam al-Ma’lumat (3) Itsbat Wujud Allah (4) Itsbat ats-TsSani (5)Tsani al-Muhdatsat La Yusybihuha (6) Tani al-Alam Wahid (7) Shifat Allah (8) al-‘Alaqat Baina as-Shifat wa adz-Dzat (9) Al-Ism wa al- Musamma (10) Asma Allah (11) Shifat adz-Dzat wa Shifat al-Af’al (12) Jawaz ar-Ru’yat Allah Ta’ala bi al-Abshar (13) Iradah Allah Syamilah (14) al-Istitha’ah wa al-Kasb (15) At-Ta’dil wa at-Tajwir (16) Al-Arzaq (17) Al- Ats’ar (18) Al-Ajal (19) Ad-Din wa al-Iman wa al-Kufr (20) Nazhariyah al- Imamah (21) Shifat al-Imam (22) Ma Yujibu Khalq al-Imam. (Badawi, 1971: 596‑632)

Dalam kebanyakan faham al-Baqillani sama dengan al-Asy’ari, tapi ia tidak sefaham dalam satu hal yaitu tentang perbuatan manusia. Menurut al- Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya, tapi efektifitas kemampuan manusia itu baru dimiliki manusia ketika ia mulai melakukan perbuatan. Dalam ungkapannya ia mengatakan: “’An al-Istitha’ah Ma’a al-Fi’l ila al-Fi’li“. (Badawi, 1971:  517)

2. AL-JUWAINI

Nama lengkapnya adalah Abdul Malik b. Abdullah b. Yusuf b. Muhammad b. Abdullah b. Haywiyah al-Juwaini, dan kunyahnya Abu al- Ma’ali. Lahir pada tanggal 18 Muharram 419 H (17 Pebruari 1028 M) dan wafat di Bisytinqan pada tanggal 25 Rabi al-Akhir 478 H (19 Agustus 1058 M). (Badawi, 1971:  679 dan 689; Ad-Daib, 1981:  27‑29)

Al-Juwaini hidup dan dibesarkan dalam lingkungan kaum intelektual di Nisabur dimana ayah dan kakeknya adalah tokoh‑tokoh yang ahli dalam agama. Oleh karena itu tidak mustahil kalau sosok al-Juwaini pun tampil sebagai intelektual yang ahli dalam agama.

Sewaktu dinasti Buwaihi digulingkan oleh dinasti Saljuk (tahun 445 H/1055 M) terjadi kesukaran‑kesukaran bagi golongan al-Asy’ariyah. Hal ini disebabkan karena perdana menteri kerajaan Saljuk yaitu al-Kunduri yang berpaham Mu’tazilah mempengaruhi Sultan untuk membenci orang‑orang yang mempunyai akidah yang dianggap salah yaitu al-Asy’ariyah hingga tokoh‑tokoh pimpinannya ditangkap. Dalam hal ini al-Juwaini melarikan diri. Ia pergi ke beberapa tempat seperti Baghdad, Hijaz, Makkah serta Madinah. Ia pernah mengajar dan memberi fatwa dengan mazhabnya di Makkah dan Madinah selama empat tahun, hingga ia digelari dengan Imam al-Haramain. (Badawi, 1971: 683‑684; Ad-Daib, 1981: 22‑23; Nasution, Op.Cit., hal. 74‑75.) Ia kembali lagi ke Nisabur setelah sultan Tugril Bek wafat dan digantikan oleh Ali Arselan yang kemudian menggantikan kedudukan al-Kunduri dengan Nizam al-Mulk. Ia kemudian mengajar di madrasah Nizamiyah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk.

Karya‑karya al-Juwaini meliputi tulisan‑tulisan dalam bidang ilmu kalam dan ilmu fiqh. Adapun kitab‑kitabnya dalam bidang ilmu kalam adalah: Al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad (Terdapat di Leiden, Museum Britania, Escorial, Dar al-Kutub al-Misriyyah, Badawi, Ibid:  691), Luma al-Adillah fi Qawa’id Aqaid Ahl al-Sunnah (Terdapat di Berlin, Dar al Kutub al Misriyyah., ibid: . 693), al Aqidah al Nizamiyyah (Terdapat di Escorial; ibid:  695), dan al Syamil fi Usul al Din. (Terdapat di Dar al- Kutub al Misriyyah,ibid).

Pemikiran‑pemikiran

Sebagai salah seorang tokoh Asy’ariyah al Juwaini banyak sependapat dengan tokoh‑tokoh sebelumnya, yaitu Abu Hasan al Asy’ari dan al Baqillani, meskipun dalam beberapa hal ia tidak sependapat dengan kedua tokoh tersebut.

Adapun pendapat‑pendapat terpenting yang dikemukakan oleh al Juwaini adalah:

  1. Dalam membahas masalah sifat‑sifat Tuhan al-Juwaini mengemukakan teori tentang ahwal. Menurutnya meskipun ahwal itu merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang ada, tetapi ia tidak menyifati sesuatu itu bersamaan sesuatu itu ada atau tidak. Dalam hal ini ia membagi sesuatu kepada: maujud, ma’dum, dan wasatah. Wasatah inilah yang disebut hal, yaitu sesuatu yang ada dalam nafs (zat) nya dan ada di otak ketika mengamati‑nya. Dari pendapat tenang hal ini al-Juwaini mengemukakan adanya sifat‑sifat ma’nawiyah yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah yang ada pada nafsNya dan tidak dapat dilihat. (Ad-Daib, tt.: 105‑106)
  2. Dalam penggunaan ta’wil al-Juwaini menerapkannya pada zahir Kitab dan Sunnah, begitu pula pada ayat‑ayat antropomorphisme. (Al-Juwaini, 1969: 543‑554; Nasution, 1985:  72)
  3. Mengenai perbuatan manusia ia beranjak dari pendapat al-Asy’ari tentang kasb, namun ia mengemukakan teori yang lebih luas lagi yaitu bahwa kasb manusia bersifat efektif. Efek itu baru ada  ketika dilakukannya usaha/ kasb, dan wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada padanya, dan wujud daya itu tergantung pula kepada sebab yang lain, dan wujud sebab ini tergantung pula sebab yang lain. Begitulah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. (Nasution, 1985; Asy-Syahrastani, 98‑99; Badawi, tt.: 70) Berdasarkan pendapatnya ini al-Juwaini lebih dekat kepada faham Mu’tazilah tentang hukum kausalitas dari pada pendapat al-Asy’ari yang mengatakan bahwa kasb manusia tidak punya efek terhadap perbuatannya.
  4. Dalam masalah kalam Allah al-Juwaini menjelaskan bahwa kalam Allah adalah perkataan yang berdiri pada nafs, kalam yang seperti inilah yang bersifat qadim, sedangkan kalam ibarat yang bersuara dan berhuruf bersifat baharu. (Badawi, ibid) Dengan pendapatnya tentang kalam Allah ini al-Juwaini telah menemukan suatu kompromi dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan kalam Allah itu makhluk.
  5. Pendapatnya yang lain adalah tentang wajibnya ma’rifah (mengenal) Allah dengan analisa dan argumentasi. Menurutnya kewajiban ini didapati dari kewajiban‑kewajiban syari’at, sementara akal tidak dapat menemukan kewajiban‑kewajiban taklif. (Al-Juwaini, 1969: 115)

3. AL-GHAZALI (450‑505/1058‑1111)

Al-Ghazali dilahirkan di kota Tus, (sekarang) dekat kota masyhad disebelah timur Iran. Ia mendapatkan pendidikan pertama di sana. (Tibanah, 1957: 8) Ketika berusia lima belas tahun ia pergi ke daerah Jurjan (Eliade, tt.:541) untuk melanjutkan studi pada Abu Nasr al-Isma’ili. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke Tus.

Pada usia 19 sembilan belas tahun (469/1077) ia pergi ke Nisabur (sekitar 50 mil ke arah barat Tus) dan belajar di perguruan Nizamiyyah pimpinan al-Juwaini. Meskipun studi utamanya tentang hukum al-Juwaini juga mengenalkannya dengan teologi al-Asy‑ari dan [mungkin] filsafat al- Farabi dan Ibn Sina. Ia juga belajar lebih lanjut tentang teori dan praktek sufisme pada seorang sufi Abu Ali Darmazi al-Tusi.

Ia belajar fiqh pada Ahmad b. Muhammad al-Razkani (as-Subki, ibid: 103). Akan tetapi menurut versi lain ia juga belajar tentang sufi/tasawuf pada seorang sahabat ahayhnya yang menerima wasiat untuk mendidiknya bersama saudaranya, Ahmad al-Ghazali.

Menurut cerita, yang juga dimuat di Thabaqat as-Subki, pada perjalanan pulang dari Jurjan ia di rampok, semua yang dibawanya dirampas termasuk buku‑buku catatannya. Ketika ia memohon supaya buku‑bukunya yang tentunya tidak ada artinya bagi perampok itu dikembalikan padanya, para perampok itu malah mengejeknya bahwa pengetahuannya hanya terdapat dalam buku catatan. Buku itu akhirnya dikembalikan juga, namun peristiwa ini membuatnya bekerja keras untuk menghafal isi buku‑buku tersebut selama tiga tahun (Eliade, ibid, Lihat al Subki, ibid). Dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa al Ghazali belajar di Jurjan hanya selama satu tahun.

Sepninggal gurunya (al-Farmazi [477/1084], al-Juwaini [478/1085]), al-Ghazali diundang Nizam al-Mulk, wasir kerjaan Saljuk untuk bergabung ke majelisnya dimana berkumpul para ahli pikir untuk bertukar pikiran. Tahun 484/1091 ketika masih berusia 33 tahun, al-Ghazali diangkat sebagai guru besar pada Universitas Nizamiyyah di Baghdad. Namun ia hanya mengajar selama empat tahun. Ia jatuh sakit selama lebih kurang enam bulan sehingga ia tidak bisa berbicara. (Lewis, tt.: 1039; Al-Asy’ari, tt.:  9; Al-Ghazali, tt.: 23‑27, 71‑75) Ia lalu meninggalkan Baghdad pada tahun 488/ 1095 ke Makkah dengan alasan untuk haji, namun sebenarnya tujuannya untuk meninggalkan panggung kehormatan dunia dengan segala jabatan yang diperolehnya menuju ketenangan jiwa dan kebenaran hakiki.

Selama hampir dua tahun (488‑490/1095‑1097) ia mengasingkan diri (‘uzlah) dalam salah satu menara di Masjid Banu Umayyh di Damaskus, beribadah, menjalani hidup zuhud, dan menyucikan jiwa dari kotoran‑kotoran hawa nafsu. Ia kemudian pindah ke Yerussalem melakukan hal yang sama di masjid Umar. Setelah mengunjungi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia pergi haji ke Makkah dan madinah,27 kemudian mengembara sambil terus bertaubat di tempat‑tempat suci dan masjid‑masjid serta gurun‑gurun pasir. Setelah sebelas tahun berselang semenjak kepergiaannya dari baghdad, ia akhirnya kembali ke kota kelahirannya Tus pada tahun 499/1105. Selama dalam pengembaraan itu ia tidak hanya melakukan taubat, kontemplasi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penyucian jiwa tapi juga menulis dan mengajar. Ihya Ulum ad-Din, karyanya yang terbesar, ditulis dalam masa itu. AL Risalah al Qudsiyyah ditulis ketika berada di Yerussalem, dan masih banyak kitab‑ktiab (kecil) lain yang ditulisnya. (Sharif, 1963:  586)

Sebab‑sebab sakitnya al Ghazali masih diperdebat‑kan orang dari dulu sampai sekarang. Al Ghazali sendiri mengatakan bahwa ia takut masuk neraka karena ia melihat kecurangan/kejahatan yang dilakukan kalangan ilmuwan ketika itu. Ia melihat ilmu dengan segala kemuliaannya dan profesi yang digelutinya tidak ikhlas karena Allah akan tetapi motivasinya mencari kehormatan dan ketenaran.

Menurut as-Subki setelah pergi ke baitullah dan berhaji, ia pergi ke Syam (Damaskus) dan tinggal di sana selama sepuluh tahun sambil mengunjungi tempat‑tempat bersejarah seperti Baitul Maqdis dan lain‑lain.

Sekembalinya ke Tus, ia didesak oleh Fakhr al-Mulk, putera Nizam al-Mulk, yang menjadi wazir sultan Sanjar untuk mengajar di Universitas Nizamiyyah Maimunah di Nisabur. Ia lalu mengajar di sana pada bulan Zul Qa’dah 499/Agustus 1106, tapi tak lama kemudian ia kembali lagi ke Tus dan mendirikan madrasah yang mengajarkan teologi dan tasawwuf. Setiap hari diisinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia meninggal dunia pada 14 Jumada ats-Tsaniyah 505/19 Desember 1111. (Ibid.,  587)

Karya dan pemikirannya

Lebih dari empat ratus karya yang disandarkan pada al-Ghazali, namun hanya tujuh puluh yang masih ada yang berbentuk manuskrip (termasuk yang sudah dicetak). Sebagian karya‑karya tersebut isinya sama tapi judulnya berbeda, lagi pula terdapat karya‑karya yang sebenarnya bukan karya al-Ghazali tapi disandarkan kepadanya. (Eliade, tt.:  542; Lewis, tt.: 1040)

Diantara sekian banyak karyanya tersebut yang secara akhusus membicarakan tentang teologi sedikitnya ada empat kitab, yaitu:

  1. Al-Iqtisad fi al-I’tiqad; buku ini mungkin ditulis menjelang atau sesudah kepergiannya dari Baghdad. buku ini pada garis besarnya membicarakan topik yang sama dengan al-Irsyadnya al-Juwaini, tapi di sini al-Ghazali banyak menggunakan logika Aristoteles khususnya syllogisme. Dalam hal ini Ibn Khaldun menganggap al-Ghazali sebagai penemu tendensi baru dalam teologi.
  2. Al-Arba’in, ditulis setelah al-Ihya, tampak di sini bahwa al-Ghazali tidak pernah keluar dari ajaran al-Asy’ariyah. Namun ia menetapkan bahwa diskusi ilmiah tentang agama harus berada jauh di luar lapangan ajaran‑ajaran dogmatis dan bahwa pembahasan yang detail tentang dogma tidak mempunyai nilai praktis.
  3. Fashl at-Tafriqah Bain al-Islam Wa al-Zandaqah; buku ini sebagai ditujukan untuk menyerak kelompok Batiniyyah, namun terutama merupakan pembelaan diri dari kecaman koleganya sesama Asy’ariyah yang meng‑kritiknya karena terlalu toleran terhadap aliran Mu’tazilah yang banyak menggunakan ta’wil.
  4. Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm al-Kalam; merupakan karya yang terakhir memuat peringatan akan bahaya belajar ilmu kalam bagi orang‑orang yang rendah pengetahuannya.

Pemikiran teologis al‑Ghazali pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan tokoh‑tokoh pendahulunya (al-Juwaini, al-Baqillani maupun al-Asy’ari). Hanya saja karena ia selalu menekuni suatu ilmu dengan sangat mendalam disamping sikap ilmiahnya yang selalu mempertanyakan (meragukan) keabsahan (validitas) suatu pengetahuan (Al-Asy’ari, tt.: 13‑18; Al-Ghazali, tt.:  27‑32) maka ia tidak lagi menggunakan metode yang dipakai oleh para pendahulunya yang cenderung normatif. Al-Ghazali tampil beda dengan menggunakan logika ilmiah dalam filsafat untuk membuktikan pemikiran teologisnya. (Ibn Khaldun,  tt,  446)

Lebih tajam lagi Abu Zahrah menegaskan bahwa al-Ghazali tidaklah mengikuti al-Asy’ari maupun Abu Mansur al-Maturidi, akan tetapi ia menggunakan pola pemikiran yang bebas dan mandiri bukan layaknya seorang pengikut atau muqallid. Memang sebagian hasil pemikirannya sama dengan pendapat mereka namun ia berbeda dalam beberapa hal yang menurut mereka harus diikuti. (Abu Zahrah, tt, 191; Nasution, 1985: 72‑73)

Pemikiran al-Ghazali itu antara lain adalah bahwa zat Allah itu wujud, qadim, baqin, bukan jauhar, jisim atau arad, tidak dibatasi dengan suatu batasan, atau ditentukan dengan arah (jihat), Ia bisa dilihat di akhirat dan Ia Maha Esa. Tentang sifat‑sifat Allah al-Ghazali mengatakan bahwa Dia hayyun, ‘alimun, qadirun, muridun, sami‑un bashirun, mutakallimun. Dan bahwasanya Allah mempunyai sifat hayat, ‘ilm, qudrah, iradah, sam’, bashar dan kalam. Sedangkan tentang af’al Allah Ta’ala bahwasanya Allah tidak berkewajiban memberi taklif, menciptakan, memberi pahala, menjaga kemaslahatan para hambaNya, tidak mustahil bagiNya membebankan sesuatu yang tidak mampu dilakukan manusia, tidak wajib bagiNya menyiksa yang maksiat, tidak wajib baginya mengutus para Nabi. (Al-Ghazali, 1962:  4‑5)

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad., Tarikh al-Madzahib a-Islamiyyah, Juz 1,  ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.

Badawi, Abdurrahman., Mazahib al-Islamiyyin, Juz I, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1971.

Ad-Daib, Abd. Azhim., Abu al-Ma’ali Abd. Malik B. Abd. Allah Al-Juwaini, Hayatuhu Wa Ashruhu Atsaruhu Wa Fikruhu, Kuwait: Dar al-Qalam, 1981.

Edwards, Paul (ed)., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing Company, 1972.

Al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalal, Beirut: Al-Maktabah as-Sa’diyyah, tt.

——,  Al-Iqtishad fi al-I’tiqad Kairo: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladuh, 1962.

Ibn Khaldun, Kitab al-‘Ibar, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Al-Juwaini, asy-Syamil fi Ushul ad-Din, Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969).

Lewis CH. Pellat, B., J. Schacht, The Encyclopedia of Islam, Vol. 2Leiden: E.J. Brill, 1968.

Nasution, Harun., Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Sharif,  M.M., A History of Muslim Philosophy, Vol. I, Wiesbaden: Ottoharrassowitz, 1963.

Al-Subki, Tajuddin., Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Juz IIIBeirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Tibanah, Badawi Ahmad., Muqaddimah Ihya Ulum ad-Din, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, 1957.

Watt, W. Montgomery., Islamic Theology and Philosophy, terjemahan Umar Basalim: Jakarta: P3M, 1987.

ASY’ARIYAH : Kemunculan, Perkembangan, & Doktrinnya

SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH

 

1. Pendiri

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

 

2. Pemikiran Al-Asy’ari dalam Masalah Akidah

Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.

 

a. Periode Pertama

Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.

 

b. Periode Kedua

Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.

Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:

•Al-Hayah (hidup)

•Al-Ilmu (ilmu)

•Al-Iradah (berkehendak)

•Al-Qudrah (berketetapan)

•As-Sama’ (mendengar)

•Al-Bashar (melihat)

•Al-Kalam (berbicara)

Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta’wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.

 

c. Periode Ketiga

Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta’thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.

Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:

•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah

•ta’thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki

•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu

•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna

lainnya.

Pada periode ini beliau menulis kitabnya “Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah.” Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.

 

3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah

Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.

Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy’ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.

 

4. Penyebaran Akidah Asy-‘ariyah

Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi’i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-‘ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.

 

B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, “Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta’akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).

Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai “As-Sunnah”. Menamakan masalah ini dengan “As-Sunnah” karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata “Ahlus-Sunnah” mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi’dah dan hadits mereka tidak di ambil.

Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, “Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”

Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.

Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid’ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa’ wal Bida’ dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i’tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:

 

1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A’dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)

dari pemeluk Islam.

2. Para Imam Mujtahid

3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.

4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.

5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.

Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara’, maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.

Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i’tiba’ dan meninggalkan ibtida’ (bid’ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma’ atau As-Sawadul A’dzam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima’ (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma’ merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’).

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa’ wal Bida’. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta’ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].

“Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa’ wa Dhalalah.”

Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i’tiqad dan manhaj.

Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.

Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy’ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf “Ahlus Sunnah wa Jamaah” adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy’ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:

 

1. Tentang sifat Tuhan

Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

 

2. Tentang Perbuatan Manusia

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.

 

3. Tentang Al-Quran

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

 

4. Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

 

5. Tentang Pelaku Dosa Besar

Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

 

6. Tentang Janji Tuhan

Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.

 

7. Tetang Rupa Tuhan

Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.

Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, “Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya.” Mereka itu adalah Asy’ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:

 

  1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid’ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

 

  1. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar’i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i’tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.

    Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
    Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.

 

 

C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH

 

Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:

1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang

melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada

pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

 

2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

 

3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena

diciptakan.

 

4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan

oleh Tuhan.

 

5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan

berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang

konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

 

6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang

dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa

pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak

mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus

dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.

 

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.

Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

Koreksi atas pandangan Asy’ari

Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:

Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.

Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:

 

1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan

mempunyai wujud di luar zat.

2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.

3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan

4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.

5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,

tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban

yang tak dapat dipikul kepada manusia.

Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-‘ariyah

Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:

•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)

•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)

•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)

•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)

•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)

 

Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.

Khawarij : Latar Belakang Kemunculan, Doktrin-Doktrin Pokoknya, dan Perkembangannya

1. Latar Belakang Kemunculan
Secara etimologi kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, mucul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap keputusan Ali yang menerimaarbitrase (tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, seementara Muawiyah berada dipihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak ajakan itu. Namun, karena desakan sebagian pangikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asyi’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Thai, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bi Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
Kepitusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah mengganti khalifah Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka menolak dengan mengatakan, “mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura, itulah sebabnyakhawarij disebut juga dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka disebut juga dengan Syurah dan Al-Mariqah.
2. Doktrin-doltrin Pokok Khawarij
  1. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
  2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang mulim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
  3. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
  4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke 7 kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng.
  5. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
  6. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
  7. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
  8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
  9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup di dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (Negara Islam).
  10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
  11. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga dan orang yang jahat harus masuk neraka).
  12. Amar ma’ruf nahi mungkar.
  13. Memalingkan ayat-ayat al-qur’an yang tampak mutsyabih (samar).
  14. Al-qur’an adalah makhluk.
  15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
3. Perkembangan Khawarij
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai aliran khawarij, selama doktrinnya identik dengan aliran ini. Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu sebagai berikut :
  1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
  2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka fahami dan amalkan, sedangkan Islam yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.
  3. Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang seperti mereka fahami dan amalkan.
  4. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih Imam dari golongan mereka sendiri yakni Imam dalam arti pemeluk agama dan pemuka pemerintahan.
  5. Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.
Sumber : Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Dr. Rosihon, M.Ag, “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Bandung : 2001.
Adsense Indonesia

Sudah dilihat

  • 223,836 kali

Masukan alamat email.

Join 8 other subscribers

Top Rate