archives

Shalat

This category contains 2 posts

Kekeliruan Seputar Shalat Tarawih/Witir

Berikut beberapa kekeliruan saat pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah dan tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Adanya Bilal. Bilal ini adalah seseorang yang berseru seperti, “Sholu sunnatat tarowihi jami’a rahimahumullah, ash sholaatu illaaha illallaah, Allahumma sholi ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘alii Muhammad”. Kurang lebih seperti itu, dan ditiap-tiap 2 raka’at selalu diulang seperti ini, demikian juga witir. Ini adalah sebuah kekeliruan, sebab rasululloh shallallahu’alaihi wa salam tidak pernah mengajarkan hal ini. Bahkan rasululloh shallallahu’alaihi wa salam sendiri mengerjakan shalat tarawih sendiri dengan istirahat. Berbeda dengan yang kita lakukan saat ini, tidak ada istirahat di tiap 4 raka’atnya. Padahal yang afdhol dan sesuai sunnah adalah dengan istirahat. Apalagi ada yang sholatnya secepat  kilat. Hukum sholat kilat sudah kita ketahui bahwa sholatnya tidak sah dan harus mengulang. Karena tuma’ninahnya tidak ada.

2. Shalat tidak dilakukan dengan tuma’ninah. Di beberapa masjid kita bisa menjumpai shalat tarawih berjama’ahnya sangat cepat, bahkan saya sendiri sampai tidak bisa mengimbangi karena saking cepatnya. Tuma’ninah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam contohkan adalah setiap bagian sholat mendapatkan nilainya. Ketika ruku’maka benar-benar punggung harus lurus dan bacaannya juga benar, tidak tergesa-gesa. Kemudian ketika i’tidal juga tulang-tulang itu kembali lurus, ketika sujud benar-benar sujud. Bahkan kalau tiap bagian shalat itu tidak mendapatkan hak-nya maka rasulullah shallallahu’alaihi wa salam menyuruh untuk diulang.

3. Seakan Mewajibkan adanya kultum di shalat tarawih. Ini juga kekeliruan sebab kultum itu bukan wajib, tapi hanya sebagai pengisi saja karena kemungkinan saat itu banyak jama’ahnya sehingga sangat percuma sekali kalau tidak diisi tausiyah,karena ini juga bulan Ramadhan. Ini tidak mengapa, asalkan tidak mewajibkan.

4. Berdzikir setelah shalat witir dengan bacaan,“Subhanallahil Malikil Qudus, Subhanallahil Malikil Qudus, Subhanallahil Malikil Qudus, Subuhun Qudusun, Rabbul Malaaikati warruuh, Subuhun Qudusun, Rabbul Malaaikati warruuh, Subuhun Qudusun, Rabbul Malaaikati warruuh”. Ini tidak ada dasarnya, sebab rasululloh shallallahu’alaihi wa salam hanya mengajarkan: “Subhanallahil Malikil Qudus, Subhanallahil Malikil Qudus, Subhanallahil Malikil Qudus” kemudian pada yang ketiga beliau membaca suaranya dengan suara keras, disambung dengan “Rabbul Malaaikati Warruuh”. Yang ini haditsnya shahih dari Imam Nasa’i dan Imam Daraquthni. Sedangkan yang dibaca orang-orang tadi tidak ada dasarnya.

5. Dzikir berjama’ah di antara sela-sela shalat tarawih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandoi oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11:190)

6. Menjelang 1 Syawwal masjid-masjid malah sepi, bahkan yang awalnya penuh shafnya sampai ke belakang malah semakin ke depan. Padahal 10 hari terakhir adalah hari-hari yang paling baik di bulan Ramadhan, karena pada sepuluh hari terakhir ada Lailatul Qadar yang nilai 1 malam adalah sama dengan 1.000 bulan.

7. Setelah sholat witir dan dzikir ramai-ramai mengucapkan Nawaitu Shoumaghadin dst. Ini merupakan hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasululloh shallallahu’alaihi wa salam. Sebab niat itu ada di dalam hati bukan dilafazhkan. Dan jumhur ulama berkata demikian. Kalaupun memang niat itu dilafazhkan seharusnya setiap orang itu melafazhkan niat mereka ketika makan, tidur, mandi dan sebagainya. Nyatanya rasululloh shallallahu’alaihi wa salam tak pernah melafazhkan niat satupun, entah itu niat shalat, puasa dan sebagainya.
Melafazhkan niat selepas shalat tarawih. Imam Nawawi berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, 1:268).

7. Memanggil jama’ah dengan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Hal ini tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:140).

8. Bubar sebelum shalat selesai. Hal ini sering terjadi ketika kita melihat banyak jama’ah yang bubar ketika shalat witir mau dimulai, padahal yang benar adalah mengikuti shalat dengan imam sampai selesai agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Sekalipun alasannya adalah “witir di rumah”, tetap yang paling utama dan afdhal adalah shalat bersama imam sampai selesai.

Demikian kekeliruan-kekeliruan yang biasanya saya temukan, semoga bisa kita perbaiki dan tidak diulang lagi oleh kita semua. Sebab Setiap amalan yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak.

Wallahua’lam bishawab.

 

 

Sholat Witir

Shalat witir hukumnya sunnah muakkadah yaitu sunnah yang ditekankan sekali. Meskipun ditekankan sekali namun bukan berarti menjadi wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah meninggalkan shalat witir baik saat bermukim maupun sedang bepergian.

Shalat witir adalah shalat yang dilakukan dengan jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan dengan tiga raka’at, maka dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at, sekali salam [HR. Al Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].

 

Dalil-dalilnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil.” (Muttafaqun’alaihi)

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia bertutur, “Sesungguhnya shalat witir tidak harus dikerjakan dan tidak (pula) seperti shalat kamu yang wajib, namun Rasulullah melakukan shalat witir, lalu bersabda, “Wahai orang-orang yang cinta kepada Al-Qur’an, shalat witirlah, karena sesungguhnya Allah itu ganjil yang menyenangi (shalat) yang ganjil.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:959, Ibnu Majah I: 370 no:1169, Tirmidzi I:282 no: 452, Nasa’i III:228 dan 229 dalam dua hadits dan ‘Aunul Ma’bud IV:291 no:1403 secara marfu’ saja)

Waktu Pelaksanaan

  1. Waktu antara ba’da shalat isya’ sampai dengan menjelang terbit fajar shubuh
    Hadist Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu dari Abu Bashrah Al-Ghifariradhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,”Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menambah kepada kalian satu shalat yaitu witir maka kerjakanlah ia pada waktu antara shalat Isya’ hingga shalat shubuh.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani) 

    Begitu pula yang telah dicontohkan melalui perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadist ‘Aisyah Radhiyallahu’anha,
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, “Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.” (HR. Muslim)

  2. Dan bagi yang khawatir tidak bisa bangun di sepertiga malam yang akhir maka dianjurkan mengerjakannya di awal waktu.
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Kekasihku Rasulullah Shalallahu’alahi wasallam berpesan kepadaku dengan tiga perkara (yang tidak akan aku tinggalkan hingga mati): [1] berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, [2] mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha, dan [3] mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (Muttafaqun’alaihi). Dan kita ketahui bersama bahwa Abu Hurairah di malam hari menggunakan waktunya untuk mengulangi hadits-hadits yang ia hafal, sehingga sulit bagi beliau bangun di akhir malam. Jadi, beliau dinasehatkan shalat witir sebelum tidur.
  3. Witir pada akhir malam lebih utama bagi orang yang yakin dapat bangun. Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    Barangsiapa yang yakin dapat bangun malam, maka shalat witirlah pada akhir malam, sebab bacaan pada akhir malam itu dihadiri (oleh para malaikat) dan itu lebih baik.” (HR Muslim no 755)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Witir

  1. Satu rakaat kemudian salam
    Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu beliau berada di atas mimbar, Bagaimana cara mengerjakan shalat malam?” Beliau menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya. “” (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Dua rakaat lalu salam kemudian disempurnakan dengan satu rakaat salam sebagai rakaat ketiganya.
    Praktek tersebut telah dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dijelaskan Nafi’ Rahimahullah dalam pernyataan beliau, “Sesungguhnya Abdullah bin Umar pernah salam (mengakhirkan shalat) antara dua rakaat dengan satu rakaat dalam witir hingga memerintahkan untuk memenuhi sebagian kebutuhannya.” (HR al-Bukhari no 991 dan Imam Malik dalam al-Muwatha’ 1/125) 

    Ibnu Umar sendiri menyatakan, “Rasulullah pernah memisahkan antara dua rakaat dan yang satu (dalam Witir) dengan salam yang bisa kami dengar( HR Imam Ahmad 2/72,ath-thahawi 1/278 dan Ibnu Hibban 2/35)

  3. Dilakukan secara bersambung tiga rakaat dengan satu salam yaitu setelah rakaat ketiga.
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Rasulullah pada bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat jangan tanya tentang bagus dan panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
  4. Lima rakaat kemudian salam
    Dari ‘Aisyah ia berkata,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR Muslim)
  5. Sembilan rakaat: delapan rakaat dilanjutkan satu rakaat kemudian salam
    Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu bersiwak dan berwudhu dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku. Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)

Bacaaan Surat ketika Shalat Witir Tiga Rakaat

Dibaca dalam Witir pada rakaat pertama dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la,” pada rakaat kedua dengan “Qul ya Ayyuhal Kafirun,” dan pada rakaat ketiga dengan “Qul Huwallahu Ahad, Berdasarkan hadist Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan,

“Nabi dalam shalat Witir membaca: Sabbihisma rabbikal A’la, Qul ya Ayyuhal Kafirun dan Qul Huwallahu Ahad pada masing-masing raka’at.” (At Tirmidzi no 462, An Nasa’i:no1702,Ibnu Majah no 1172 dishahihkan Al-Albani dalam shahih Sunan An-Nasa’i,1/372,shahih Sunan Ibnu Majah,1/139 dan shahih Sunan At-Tirmidzi,1/144)

Dituntunkan pula ketika witir untuk membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ” Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?” Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir (Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, -pen) [HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani]. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2:1062)

Setelah witir dituntunkan membaca, “Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406, shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa membaca bacaan “Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri] (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)

 

Adsense Indonesia

Sudah dilihat

  • 223,836 kali

Masukan alamat email.

Join 8 other subscribers

Top Rate