archives

Risalah

This category contains 6 posts

Bakti Seorang Anak

“Saya rela menjadi tongkat ibu sepanjang hidupku….”Itulah ungkapan besarnya bakti dari seorang bernama Li Yuanyuan kepada sang ibu yang lumpuh kedua kakinya.Sekitar dua dekade silam, ketika Li Yuanyuan masih berusia 7 tahun, sang ibu mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkannya lumpuh hingga sekarang. Sedangkan, hidup sang ayah sayangnya tak bisa diselamatkan.

Sejak saat itu, Yuanyuan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan yang tinggal di Changchun, China, ini pun harus bekerja sebagai pemulung. Tapi, hasil kerja kerasnya habis terpakai untuk keperluan sang ibu. Continue reading

123 Kata Mutiara Motivasi Hidup

Pesan dalam kumpulan kata-kata mutiara ini tidak akan pernah menyentuh jiwa yang kerdil, pemalas, pesimis, mudah patah semangat, tidak percaya diri, serta tidak memiliki cita-cita!

  1. Hanya mereka yang berani gagal dapat meraih keberhasilan (Robert F. Kennedy)
  2. Setiap pria dan wanita sukses adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka berimajinasi tentang masa depan mereka, berbuat sebaik mungkin dalam setiap hal, dan bekerja setiap hari menuju visi jauh ke depan yang menjadi tujuan mereka (Brian Tracy)
  3. Percayalah pada keajaiban, tapi jangan tergantung padanya (H. Jackson Brown, Jr) Continue reading

Perjuangan Ibu Yang Tidak Kita Sadari

Ini adalah mengenai Nilai kasih Ibu dari Seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia menghulurkan sekeping kertas yang bertulis sesuatu. si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang dihulurkan oleh si anak dan membacanya.

Ongkos upah membantu ibu:
1) Membantu pergi ke Warung: Rp 20.000
2) Menjaga adik Rp 20.000
3) Membuang sampah Rp 5.000
4) Membereskan Tempat Tidur Rp 10.000
5) menyiram bunga Rp 15.000
6) Menyapu Halaman Rp 15.000
Jumlah : Rp 85.000

Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.

1) OngKos mengandungmu selama 9 bulan – GRATIS
2) OngKos jaga malam karena menjagamu -GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu – GRATIS
4) OngKos Khawatir kerana selalu memikirkan keadaanmu- GRATIS
5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu – GRATIS
6) OngKos mencuci pakaian, gelas, piring dan keperluanmu – GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku – GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, “Saya Sayang Ibu”.Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu didepan surat yang ditulisnya: “Telah Dibayar” .

2 Hal yang Membuat Kita Tidak Bersyukur Dengan Keadaan Kita Sekarang

Pertama :

Kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki.

Katakanlah anda telah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang terbaik. Tapi anda masih merasa kurang. Pikiran anda dipenuhi target dan keinginan.

Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yg mendatangkan lebih banyak uang.

Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan.

Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapa pun banyak yang kita miliki, kita tak pernah menjadi “KAYA” dalam arti yang sesungguhnya.

Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ”kaya”.

Orang yang ”kaya” bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.

Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram.

Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yg sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.

Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan.

Seorang pengarang pernah mengatakan, ”Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.” Ini perwujudan rasa syukur.

Kedua :

Kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung.

Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.

Ada sebuah kisah mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia.

Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab,

”Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang.”

“Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.”

Bersyukurlah!

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu …
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar …

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit …
Di masa itulah kamu tumbuh …

Bersyukurlah untuk keterbatasanmu …
Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang …

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru …
Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu …

Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat …
Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga …

Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih …
Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan …

Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik …
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut …

Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif …
Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu …

Ketika Agama & Negara (Politik) Terpisah…?

Ketika agama dan politik terpisah, maka Tuhan hanya hadir di masjid dan mushola, serta saat menjelang pemilu. Tuhan tak akan pernah hadir di gedung DPR, Istana Negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Menyeramkan, bukan?
Sebagai penutup, saya berandai-andai, jika saja Yusuf Qaradhowi hadir saat acara dialog di Metro TV, ia pasti akan berkata pada Kania Sutisnawinata. ”Wahai saudaraku, bila Islam tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh Islam itu?

Usai menyaksikan kekalahan Timnas dari Bahrain, chanel TV segera saya alihkan ke Metro TV. Sebuah acara menarik sudah menanti: dialog Menyoal Peran Agama dalam Negara. Pembicaranya: Anis Matta, Bahtiar Effendi (Pakar Politik Islam UIN Ciputat), dan Lutfie Syaukannie (Pegiat JIL). Selain untuk menghibur diri atas nasib buruk yang menimpa Timnas, saya “wajib” menonton acara tersebut karena tema dan pembicaranya memilki magnitude tersendiri.

Acara dibuka dengan gambar umat berbagai agama sedang beribadah. Tak banyak gambar yang ditampilkan, sekitar 4-5 buah. Setelah itu ditayangkan visual aksi kekerasan yang dilakukan ormas Islam di berbagai tempat. Kali ini, cukup banyak dan sedikit lebih lama waktunya. Dari opening ini saja sudah bisa saya duga ke mana diskusi hendak diarahkan. Dan prediksi saya tak meleset. Pembawa acara dengan berbagai cara mengarahkan agar terbentuk opini bahwa agama tak boleh masuk ke dalam negara dan negara tak boleh masuk ke dalam wilayah agama. Alasannya: negara adalah ruang publik dan agama merupakan ruang privat.

Seringkali pemandu acara menggunakan terminologi tendensius. Saat bicara tentang UU Pornografi, Kania Sutisnawinata, sang moderator, mengatakan bahwa UU tersebut sebagai produk yang buruk—meski ia berapologi meminjam istilah Bahtiar Effendi. Di saat yang lain, Kania kerap menggunakan kata “intervensi” negara terhadap agama. Bahtiar Effendi protes keras dengan mengatakan,”Saya kok merasa tidak nyaman dengan kata intervensi.”

Saya tak akan mengulas lebih jauh bagaimana dialog yang terjadi. Ada yang lebih penting dari itu yakni mengapa tema Agama, Negara dan Politik seakan menjadi bahan diskusi yang tak ada habis-habisnya. Seolah-olah masalah ini jauh lebih serius, darurat dan sangat penting dibandingkan masalah korupsi, kemiskinan, pendidikan, dan sebagainya. Seakan-akan masyarakat sangat mebutuhkan wacana tersebut dibandingkan sembako.

Dulu, saat kampanye menjelang pemilihan presiden dan wakilnya pada Juni 2009, tema ini juga menjadi salah satu bahan debat antarkandidat cawapres. Prof Komaruddin Hidayat ketika itu bertanya kepada Prabowo Subianto, Wiranto dan Boediono. “Bagaimana menurut Anda sebaiknya hubungan antara agama dan Negara (politik)?”

“Agama harus kita tempatkan di atas politik,” kata Boediono yang diamini oleh Prabowo Subianto. “Agama memang harus dipisahkan dari politik, tapi nilai-nilai moralnya harus menjadi spirit agar politik menjadi santun dan berakhlak,” ujar Wiranto. Keesokan harinya, Koran Tempo menulis.” Ketiganya sepakat memisahkan agama dari politik.”

Mengapa masih ada saja pihak yang sangat bersemangat mengangkat tema ini?

Abad Pertengahan

Diskursus bahwa agama harus terpisah dari agama merupakan warisan abad pertengahan. Bermula pada tiga abad pertama Masehi ketika agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi, sejak berkuasanya Kaisar Nero (65 M). Ketika itu, Kaisar Nero memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan.

Pada 313 M, terjadi perubahan drastic saat Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392, lahir lagi Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi.

Tahun 476, Eropa memasuki babak baru sejarah peradabannya saat Kerajaan Romawi Barat runtuh. Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages) dimulai. Gereja Kristen menjadi lembaga agama sekaligus politik yang dominan. Sebuah sistem kepausan (papacy power) disusun oleh Gregory I (540-609 M). Sistem tersebut menjadikan Paus sebagai sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan: politik, sosial, dan pemikiran.

Adagium Lord Acton yang mengatakan power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely, terbukti pada system kepausan. Kekuasaan mutlak membuat mereka melakukan penyimpangan dan penindasan, seperti stagnannya ilmu pengetahuan dan membanjirnya surat pengampunan dosa. Galileo adalah salah satu korbannya karena berkukuh mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Akibatnya, ia tewas di tiang gantungan karena dianggap melawan Gereja.

Masa kegelapan ini mulai menemukan titik terang saat adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517). Tokoh-tokohnya antara lain Marthin Luther, Zwingly, dan John Calvin. Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiavelidan Michael Montaigne. Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.

Seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin menguat pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII. Tokohnya antara lain Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Puncaknya terjadi saat meletusnya Revolusi Prancis pada 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi pondasi bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.

Pemikiran sekuler dan liberal ini menjalar ke Indonesia dan yang menjadi “Kurirnya” adalah Snouck Hurgronye. Snouck ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda “membersihkan” Aceh. Ia kemudian belajar Islam dan memeluk Islam, bahkan menikah dengan wanita muslim, untuk mempermudah aksinya. Setelah sekian lama melakukan penelitian, Snouck memberikan pemaparan dan rekomendasi. tentang budaya masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Terjadinya perang dahsyat Aceh dengan Belanda, katanya, karena dilatarbelakangi oleh keberadaan ulama yang sangat disegani.
Snouck kemudian merekomendasikan agar Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.

Gagasan Snouck meminggirkan peran ulama (agama) dalam pemerintahan terus berkembang hingga kini. Pemikirannya ini kemudian diamini oleh banyak tokoh terkemuka dan sekelompok masyarakat di negeri ini. Dan mereka tak bosan-bosan terus menggelar diskusi dan membentuk opni agar agama dan negara terpisah.

Pertanyaannya, apakah benar Negara-negara Barat telah memisahkan agama dan Negara (politik)? Ternyata sama sekali tidak. Mereka berlaku munafik. Pemerintahan mereka, kerap kali berpihak kepada agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk.

Di AS, meski di dalam konstitusnya dinyatakan secara tegas adanya pemisahan agama dan negara, tapi prakteknya tidak. Ronald E. Theimann dalam bukunya Religion in Public Life, menulis bahwa pemerintah AS dalam mengambil kebijakan, sangat dipengaruhi oleh agama mayoritas penduduknya yakni Kristen Protestan. Contoh, pada 1 Mei 1789, House of Representatives AS (Dewan Perwakilan Rakyat) , mengangkat William Linn, seorang pendeta Protestan sebagai Chaptain of The House atau pejabat agama untuk DPR.

Lalu pada September 1789, DPR AS meminta Presiden George Washington untuk membuat proklamasi Thanksgiving Day.

Seorang Hakim Agung anggota Mahkamah Agung, yaitu Supreme Court Justice, Joseph Story—setelah 40 tahun penulisan First Amandement—mengatakan,” It is impossible for those, who believe in the truth of Crhistianity, as a divine revelation, to doubt, that it is the special duty of government to fosler and encourage it among, all the citizens and subjects. Probably at the time of adoption of the constitution, the general if not the incompalible with the private rights of conscience and the freedom of religious worship.”

Pendapat ini banyak disetujui oleh intelektual terkemuka Barat, termasuk Jean Jacques Rousseau yang mengatakan bahwa agama ada perlunya dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan individual. (Sayyidiman Suryohadiprojo, Republika, 1 Juni 1996)

Salah Garuk
Mengapa di negeri ini, diskursus agama (baca: Islam) dan Negara dianggap belum selesai (never ending story). Bukankah penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi bukti shahih kompromi umat Islam?
Pertama, karena trauma sejarah Abad Pertengahan. Rasa trauma itu dikembangbiakkan oleh kaum kolonial, diantaranya melalui Snouck Hurgronye. Padahal, relasi Islam dan Negara sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa pertengahan itu. Pemerintahan Islam tidak sama dengan teokrasi di Eropa dulu, tempat di mana adanya kelompok pendeta yang melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat. Sistem tersebut justru lebih bersifat syaitaniyyah daripada Ilahiyah. (Abul Ala al-Maududi,Sistem Politik Islam, 1990). Al Maududi menyebut sistem pemerintahan Islam dengan teo-demokrasi.

Kedua, Islamofobia. Ini adalah penyakit yang terus mengendap di sebagain tubuh bangsa ini. Kata Taufik Abdullah, peneliti LIPI, penyakit tersebut muncul karena,””Perasaan kurang percaya diri golongan minoritas.” Menurtnya, minoritas yang percaya diripasti tidak akan takut pada Islam. Mereka akan bergaul dengan siapa saja seperti dalam memperjuangkan demokrasi dan musyawarah. (Politik Demi Tuhan, Pustaka Hidayah, 2000)

Isalmofobia muncul karena adanya kecurigaan yang berlebihan yang dibungkus dengan menghembuskan berbagai macam mitos seputar Islam dan keindonesiaan. Misalnya mitos tentang disintegrasi bangsa ketika Islam dijadikan sebagai ideologi. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang valid bahwa Islam menjadi sumber perpecahan bangsa. Umur persatuan bangsa, kata Anis Matta, tidak ditentukan oleh ideologi yang dianut suatu bangsa, namun oleh umur keadilan politik, sosial dan ekonomi. (Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, Penerbit Fitrah Rabbani, 2006)

Timor-Timur yang keluar dari NKRI, bukan karena di sana diterapkan syariat Islam, tapi karena ketidakdilan dalam berbagai bidang. Nanggroe Aceh Darussalam yang “memberontak”, juga bukan karena sytariat Islam, namun karena tak adanya keadilan ekonomi dan sosial. Begitu pula halnya dengan Papua.

Ketiga, karena cara berpikir yang pukul rata; menggeneralisasi suatu fenomena sosial. Bahasa latinnya: pars pro tato. Setelah melihat fenomena banyak elit politik islam dan partai Islam yang gagal mengemban amanah umat dan berperilaku tak sesuai dengan nilai-nilai Islam (korupsi, haus kekuasaan, zalim, amoral, dsb), maka dianggap bahwa semua elit Islam dan partai Islam seperti itu. Karenanya, tak perlu lagi agama dan politik disatukan karena politik hanya mengotori agama. Kecuali itu, agama hanya jadi bahan jualan.

Kuatnya keinginan memisahkan agama dan negara hanya karena trauma sejarah abad pertengahan, islamofobia dan cara berpikir pars pro tato, tentu saja salah. Hal semacam ini sama saja dengan “salah garuk”. Kepala yang gatal, tapi kaki yang kita garuk. Alih-alih memecahkan masalah, justru kian menambah masalah.

Di tengah rusaknya kelakuan elit politik Islam dan partai Islam, masih banyak tokoh politik Islam yang memiliki kesantunan dalam berpolitik. Masih banyak yang amanah. Masih banyak yang tak korupsi. Masih banyak yang bersih. Masih banyak yang hidunya sederhana. Masih banyak yang mementingkan rakyat. Kalau kata Shohatul Harakah,” Harapan Itu Masih Ada.”

Memisahkan agama dan negara (politik) adalah hal yang sangat berbahaya. Ketika agama dan politik terpisah, maka Tuhan hanya hadir di masjid dan mushola, serta saat menjelang pemilu. Tuhan tak akan pernah hadir di gedung DPR, Istana Negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Menyeramkan, bukan?
Sebagai penutup, saya berandai-andai, jika saja Yusuf Qaradhowi hadir saat acara dialog di Metro TV, ia pasti akan berkata pada Kania Sutisnawinata. ”Wahai saudaraku, bila Islam tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh Islam itu?” ( Fiqih Negara, Robbani Press, 1997)

Harga Sebuah Umur

“Terkadang usia panjang masanya, tetapi sedikit manfaatnya. Terkadang usia itu pendek masanya, akan tetapi banyak manfaatnya”.

Ada pepatah yang berbunyi, jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa. Benar apabila manusia suka bepergian, ia akan banyak memperoleh pengalaman, pemandangan dan penghayatan. Apabila panjang usianya dan lama hidupnya, berarti ia telah menikmati senang dan susahnya hidup pahit, dan manisnya perlajanan.

Semua perjalanan hidup manusia akan memberi makna tersendiri baginya. Ia barulah berarti apabila usia yang ditempuh dalam hidupnya memberi manfaat baginya. Usia itu sebenarnya bukan karena panjang atau pendeknya, akan tetapi manfaat dan mudaratnya. Sebagus bagus usia ialah usia yang banyak manfaatnya bagi manusia. Rosulullah Saw bersabda, */“Sebaik baik manusia ialah orang yang panjang umurnya, dan bagus amalnya, dan sejelek jelek manusia, adalah orang yang panjang umurnya akan tetapi rusak amalnya.
Syekh Ahmad Ataillah (pengarang kitab Al-Hikam) menegaskan pula : */“Siapa yang diberkati umurnya, dalam masa singkat dari usianya, ia akan mencapai karunia Allah, yang tidak dapat dihitung dengan kata kata, dan tak dapat dikejar dengan isyarat. Yang dicari oleh seorang muslim yang sholeh adalah barokahnya usia. Yang dimaksud usia ber-barokah adalah usia yang selalu membawa dan mengajak kepada kemanfaatan dunia dan akhirat.

Umur yang barokah ini, selalu diberi kesempatan oleh Allah menjalankan kebaikan kebaikan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebab, apabila umur itu mendapat barokah, tidak ada waktu yang tersia sia dalam hidup seorang hamba. Hamba yang umurnya ber-barokah, ia selalu berada dalam situasi yang sempat akan tetapi bergegas gegas. Sempat artinya selalu ada peluang, bergegas gegas artinya cepat diamalkannya. Sehingga tidak terasa olehnya usia yang dianugerahkan kepadanya, waktunya sangat singkat sebab kesempatan kesempatan beribadah yang diberkati Allah kepadanya tidak mencukupi. Ia bergegas gegas, agar waktu yang singkat itu, tidak hilang begitu saja karena cepatnya perjalan usia. Dengan demikian, maka usia yang panjang atau usia yang pendek, akan memberi arti yang berguna bagi manusia, apabila dipergunakan untuk mendapatkan ridho Allah.

Seperti yang diucapkan oleh Abu Abbas Al Mursy : “Alhamdulillah semua waktu waktu kami merupakan lailatul-qodar, artinya semua waktu diisi dengan amal yang bermanfaat. Jangan sampai waktu yang didapatkan dari usia, hanyalah ibarat air yang disiramkan ke atas pasir yang panas. Airnya menguap, pasirnya tidak basah. Usia yang hilang begitu saja dari waktu yang dilalui, akan mengecewakan si pemilik usia itu sendiri pada hari kiamat. Sebab waktu waktu yang dianugerahkan kepada manusia dinamakan bermanfaat dan barokah apabila dipergunakan untuk memperbanyak amal ibadah, memohon ampun atas bermacam macam kesalahan dan dosa, serta bertobat dengan taubatan nasuha.

Syekh Ahmad Ataillah mengatakan : */“Kekecewaan dari semua kekecewaan, adalah ketika kalian berkesempatan, kalian tidak menghadap kepada Allah, karena sedang ada sedikit halangan, kalian tidak juga mendatangi Allah.E/* Ungkapan Syekh Ataillah ini mengingatkan kita, jangan sampai kesempatan dari usia, di waktu lapang ataupun sempit, hendaklah pandai pandai dimanfaatkan untuk Allah dan datang menghadap memohon hidayah dan inayah, memohon ampun serta bertobat*. **/“Bergegas gegaslah kamu dalam keadaan ringan ataupun berat E/*(QS.At-Taubah :41)// / /Perjalanan yang panjang telah ditempuh manusia di alam dunia ini. Banyak yang dialami oleh anak Adam dalam masalah duniawiyah, namun pengalaman hidup itu barulah berarti bagi hidup dunia dan akhirat, apabila dipersembahkan untuk Allah dan Rasul-Nya, dan untuk ‘izzul Islam dan Muslimin.

Memang kadang kadang manusia tidak mempergunakan kesempatan, atau kesempatan yang ada disia siakan, sehingga kesempatan yang tersedia, hilang begitu saja. Kesempatan yang dimaksud ialah kesempatan datang menghadap Allah dalam ibadah rutin, atau kesempatan mengerjakan ibadah sunah lainnya, yang sebenarnya tersedia, akan tetapi, manusia lalai dengan alasan kesibukan duniawi, atau kesibukan perjuangan. Alasan alasan seperti itu sebenarnya tidak perlu dikemukakan, karena Allah Ta’ala Maha Tahu tentang kemalasan dan keengganan diri kita. Allah Ta’ala lebih tahu bahwa manusia lebih mementingkan dirinya sendiri, hawa nafsunya sendiri, dari pada ingin mendapatkan ridho Allah dengan pertemuan pertemuan tertentu dengan Allah dalam bentuk ibadah.

Memang merupakan suatu kekecewaan kelak di akhirat, di waktu seorang hamba menghadap Allah Swt. Manusia waktu itu datang menerima apa yang telah ia kerjakan di dunia. Masing masing datang dengan buah amal ibadahnya. Akan tetapi ada diantara manusia hadir di mahkamah Allah Swt dengan hati kecewa. Karena ia melihat orang lain datang kepada Allah dengan hati gembira menunjukkan amal ibadahnya yang wajib dan sunah yang sangat banyak, sedangkan ia datang dengan amal ibadah yang minim, yang tidak mampu melepaskan dirinya dari adzab Allah. Atau amal ibadahnya pas pasan saja. Ia kecewa, akan tetapi kekecewaan itu sudah tidak dapat ditebus lagi. Waktu itu kesibukan dunia yang dikerjakannya tidak mampu menambah amal ibadahnya.

Harta dan segala macam yang diperolehnya dalam kesibukan dunia, tidak ada satupun yang memberi nilai tambah bagi kebahagiaan akhirat yang sudah habis di depannya. Seperti diterangkan Allah Ta’ala dalam firmannya, */“Pada hari itu tidak ada gunanya harta dan anak anak, kecuali yang datang menghadap Allah dengan hati yang damai.E/*(QS. Asy-syu’ara : 89). Bagi hamba Allah yang benar benar tunduk dan patuh kepada-Nya dalam segala hal, ia dalam hidupnya tidak menyia nyiakan waktu yang dianugerahkan Allah untuk datang kepada-Nya dalam waktu waktu yang ditentukan, atau melaksanakan ibadah ibadah sunah tanpa batas waktu dan sepanjang saat. Agar seseorang hamba tidak tersia sia di akhirat, dan kecewa di hadapan Allah, memanfaatkan saat saat kesempatan adalah sangat menguntungkan dan utama.

Adsense Indonesia

Sudah dilihat

  • 223,836 kali

Masukan alamat email.

Join 8 other subscribers

Top Rate